1. Pengertian Jual Beli Kredit
Jual Beli Kredit / Angsuran / Cicilan / Tidak Tunai adalah: transaksi
jual-beli, dimana barang diterima pada waktu transaksi dengan
pembayaran tidak tunai dengan harga yang lebih mahal daripada harga
tunai serta Pembeli melunasi kewajibannya dengan cara angsuran tertentu
dalam jangka waktu tertentu. (1)
Hakikat membeli barang secara kredit adalah membeli barang dengan
cara berutang. Utang tidak dianjurkan dalam syariat islam kecuali
seseorang sangat membutuhkan barang tersebut dan ia merasa mampu untuk melunasinya. Maka tidak dianjurkan seorang muslim untuk membeli barang yang merupakan kebutuhan mewah secara kredit.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُخِيفُوا أَنفُسَكُم بَعدَ أَمِنها. قَالُوا: و مَا ذَالِكَ يَا رَسُولَ الله؟ قَل: الدَّينُ
Jangan kalian berikan rasa takut kedalam diri kalian setelah diri itu
tenang! Para sahabat bertanya, “apa hal tersebut, wahai Rasulullah?
Beliau bersabda, “Utang” (HR Ahmad, derajat Hasan)
2. Hukum Jual-Beli Kredit
2.1. Harga Angsuran Lebih Mahal dari Harga Tunai
2.1.1. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru bin Al‘Ash radhiallahu ‘anhuma.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن
عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا
إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى
خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود
والدارقطني وحسنه الألباني
(2)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin
Amru bin Al ‘Ash untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak
memiliki unta tunggangan, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkanku untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda
(tidak tunai) hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin
Amru bin Al ‘Ash pun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta yang akan
dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (Riwayat Ahmad,
Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani) (3),dan “…maka
aku beli seekor unta dengan dua/tiga ekor unta yang lebih muda yang
dibayar setelah unta zakat datang. Tatkala unta zakat datang maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membayarnya” (HR Ahmad, sanad hadits ini
dinyatakan shahih oleh Ar Nauth) (4)
– Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قال ابن عباس رضي الله عنهما: لا بأس أن يقول: السلعة بنقد بكذا وبنسيئة بكذا، ولكن لا يفترقان إلا عن رضا
“seseorang boleh menjual barangnya dengan mengatakan: barang ini harga tunainya sekian dan tidak tunainya sekian,
akan tetapi tidak boleh Penjual dan Pembeli berpisah melainkan mereka
telah saling ridha atas salah satu harga” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah,
jilid IV, hal 307)
– Fatwa Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullahu berkata:
“jual-beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat aqad, sekalipun jual-beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual-beli tunai…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz , jilid XIX, hal 105)
– Dr. Muhamad Arifin Badri, MA hafizhahullahu menjelaskan:
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap
ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah
dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu
mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan
demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang). (5)
– Dr. Erwandi Tarmizi, MA hafizhahullahu menjelaskan:
Dalam hadits diatas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenarkan menukar seekor unta yang diterima tunai dengan
dua/tiga ekor unta yang dibayarkan nanti setelah unta zakat datang. Ini
jelas menunjukkan bahwa boleh menjual barang dengan cara tidak tunai dengan harga yang lebih mahal dari pada tunai. (6)
2.2. Beberapa dalil-dalil lainnya yang membolehkan aqad jual-beli kedit:
2.2.1. Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs.
Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek
hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang,
maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
(5)
2.2.2. Hadits riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan
makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau
menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan
makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau
menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar
dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan
adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
2.2.3. Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara
salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan / 100%).
Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan
akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan
penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia
memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga
batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan
kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan
bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan
suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk
dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka ia
hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka
ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka
penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul
Qayyim dan lainnya ( Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul
Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud) , bahwa makna
hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual
beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang
dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera
penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan
dan harga yang lebih murah.
2.2.4. Hadits Bariroh :
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Sesungguhnya Bariroh datang
kepadanya minta tolong untuk pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum
membayarnya sama sekali, Maka Aisyah berkata padanya : “Pulanglah ke
keluargamu, kalau mereka ingin agar saya bayar tebusanmu namun wala’mu
menjadi milikku maka akan saya lakukan.” Maka Bariroh menyebutkan hal
ini pada mereka, namun mereka enggan melakukannya, malah mereka berkata :
“Kalau Aisyah berkehendak untuk membebaskanmu dengan hanya mengharapkan
pahala saja, maka bisa saja dia lakukan, namun wala’mu tetap pada
kami.” Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersabda : “Belilah dia dan
merdekakanlah karena wala’ itu kepunyaan yang memerdekakan.”Dalam sebuah
riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan
membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.” (HR. Bukhori
2169, Muslim 1504)
Segi pengambilan dalil : Dalam hadist ini jelas bahwa Bariroh
membayarnya dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang
dibayar selama sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak satu uqiyah.
3. PERSYARATAN – PERSYARATAN UNTUK KEABSAHAN AQAD JUAL-BELI KREDIT
(AQAD /AKAD JUAL BELI ANGSURAN / CICILAN yang SYAR’I)
Walaupun aqad jual-beli kredit dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan harga tunai pada dasarnya dibolehkan, tetapi ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
untuk Keabsahannya, yang jika tidak terpenuhi , aqad ini bisa menjadi
Tidak Sah, bahkan bisa menjadi Riba dan keuntungannya bisa menjadi Harta
Haram.
Persyaratan-persyaratan tersebut adalah:
3.1. Aqad ini tidak dimaksudkan untuk melegalkan Riba.
Maka tidak boleh jual-beli ‘inah, Juga
tidak boleh dalam aqad jual-beli kredit dipisah antara harga jual tunai
dan margin yang diikat dengan waktu dan bunga, karena ini menyerupai
riba.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ
“padahal ALLAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al Baqarah: 275)
contoh jual-beli ‘inah:
diriwayatkan bahwa istri Zaid bin Arqam bertanya kepada ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anhum tentang jual beli yang dia lakukan. Dia menjual
budaknya kepada Zaid seharga 800 dirham dibayar tidak tunai, lalu Zaid
menjual kembali budak itu kepada istrinya seharga 600 dirham tunai. Maka
‘Aisyah berkata , “ini suatu jual beli yang sangat buruk, beritahukan
kepada Zaid bahwa jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah terhapus pahalanya, kecuali ia bertaubat (dari jual beli
ini). (HR Daruquthni, dinyatakan hasan oleh Zaila’i)
3.2. Barang terlebih dahulu dimiliki Penjual sebelum aqad jual beli kredit dilangsungkan.
Dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تبع ما ليس عندك, jangan engkau menjual barang yang belum engkau miliki, (HR Abu Daud/ Shahih-Al Albani)
3.3. Pihak Penjual Kredit tidak boleh menjual barang yang telah dibeli tapi belum diterima dan belum berada ditangannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فلا تبعه حتى تقبضه, jangan engkau jual hingga barang tersebut engkau terima, (HR Ahmad/ Hasan-Imam Nawawi)
3.4. Barang yang dijual kredit bukan berbentuk emas, perak atau mata uang, karena ini termasuk Riba Ba’i
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ
يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum
dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan
sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka
jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai).
Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya
sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no.
1587)
3.5. Barang yang dijual secara kredit harus diterima Pembelli tunai pada saat aqad berlangsung.
Maka tidak boleh transaksi jual beli kredit dilakukan hari ini dan
barang diterima pada keesokan harinya. Karena ini termasuk jual beli
hutang dengan hutang yang diharamkan.
3.6. Pada saat transaksi dibuat harga harus satu dan jelas serta besarnya angsuran dan jangka waktunya juga harus jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ,anhu
نها رسول الله صلى عليه وسلم عن بيعتين في بيعة, Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam melarang dua harga dalam satu transaksi (HR Nasa’i/
Shahih-Al Albani)
Potongan harga kredit disebabkan pembayaran pelunasan sebelum jatuh tempo hukumnya boleh dengan syarat pemotongan harga tidak dicantumkan pada saat aqad dilakukan. ( Majma’ Al Fiqh Al Islami / Divisi Fiqih OKI No: 64 taun 1992) – Journal islamic Fiqh Council, edisi IV, jilid 1, hal 193
3.7. Aqad jual beli kredit harus tegas. Maka tidak boleh aqad dibuat dengan dengan cara beli sewa (leasing)
Prinsip leasing yang diharamkan: terdapat dua aqad yang berbeda dalam
satu aqad terhadap sebuah barang dalam satu jangka waktu. (HHMK cet 6
hal 413)
Adapun pada akad beli sewa Islami, hanya hukum Ijarah (sewa) yang
diterapkan pada barang sewaan selama masa akad sewa. Setelah berakhir
masa sewa maka pemindahan kepemilikan barang dilangsungkan berdasarkan
akad baru ( jual-beli, janji hibah atau hibah yang yang dikaitkan dengan
pelunasan uang sewa terakhir). (AAOIFI, Al Ma’ayir Asy Syar’iyyah, hal
122)
3..8. Tidak boleh membuat persyaratan kewajiban membayar
denda, atau harga barang menjadi bertambah, jika pembeli terlambat
membayar.
Karena ini adalah bentuk riba yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah dimasa Nabishallallahu ‘alayhi wasallam.
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir),
orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya
(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda:
“Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR Muslim)
Daftar Pustaka :
1) Kitab Harta Haram Muamalat Kontemporer Penulis: Dr. ErwandiTarmizi, MA
2) Kitab Pengantar Fiqih Muamalat dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern Penulis: Dr. Yusuf Al Subaily,
Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh
————————————————————————————————————–
Wallaahu a’lam
Penyusun : MUHAMMAD DIAN GHAZALI bin KAHARUDDIN
0 komentar:
Posting Komentar