Permasalahan membeli barang via bank itu memiliki dua bentuk:
Pertama, seorang muslim pergi ke bank lalu berkata
kepada pihak bank “Aku ingin membeli suatu rumah tertentu atau mobil
tertentu.” Bank lantas mengatakan “Kami tidak memilikinya. Coba cek jika
ada yang cocok dengan apa yang Anda inginkan beritahukan kepada kami,
kami akan membelinya.” Orang tadi lantas pergi mencari apa yang dia
maksudkan, ketika dia menjumpai apa yang dia inginkan hal tersebut dia
infokan kepada pihak bank. Pihak bank lantas membelinya.
Setelah bank membeli dan memilikinya, bank baru mengadakan transaksi jual beli dengan nasabah dan tidak ada kesepakatan yang bersifat mengikat nasabah ketika bank belum membeli dan memiliki rumah. Misalnya, nasabah tidak menyerahkan uang muka, ataupun menyerahkan sejumlah uang tertentu yang disebut oleh sebagian orang dengan sebutan ‘biaya administrasi’, tidak pula menyerahkan apapun sebagai kompensasi kesediaan bank untuk membantu nasabah mewujudkan apa yang dia inginkan, serta tidak boleh menandatangani perjanjian tertulis yang isinya kesanggupan membeli barang setelah bank memilikinya. Ini semua tidak boleh dilakukan sampai bank memiliki rumah yang dimaksudkan.
Setelah bank membeli dan memilikinya, bank baru mengadakan transaksi jual beli dengan nasabah dan tidak ada kesepakatan yang bersifat mengikat nasabah ketika bank belum membeli dan memiliki rumah. Misalnya, nasabah tidak menyerahkan uang muka, ataupun menyerahkan sejumlah uang tertentu yang disebut oleh sebagian orang dengan sebutan ‘biaya administrasi’, tidak pula menyerahkan apapun sebagai kompensasi kesediaan bank untuk membantu nasabah mewujudkan apa yang dia inginkan, serta tidak boleh menandatangani perjanjian tertulis yang isinya kesanggupan membeli barang setelah bank memilikinya. Ini semua tidak boleh dilakukan sampai bank memiliki rumah yang dimaksudkan.
Setelah bank benar-benar memiliki rumah yang dimaksudkan, nasabah
memiliki hak untuk memilih. Jika dia jadi membeli, maka dia bisa
membelinya. Jika tidak, dia pun bisa membatalkan keinginannya untuk
membeli.
Jika pihak nasabah jadi membelinya maka dalam kasus semacam ini
mayoritas ulama membolehkannya karena tidak ada alasan untuk melarang.
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim memilih
pendapat sebagian pakar fikih masa salaf yang menilai bahwa transaksi
semacam ini adalah riba senyatanya, sehingga hukum transaksi ini adalah
tidak diperbolehkan.
Kesimpulannya, siapa saja yang menjumpai solusi lain, hendaknya dia
menjauhi transaksi semacam ini. Sedangkan siapa yang tidak menjumpai
solusi lain maka pendapat yang kami fatwakan –dengan keterbatasan ilmu
yang kami miliki- transaksi semacam itu hukumnya boleh karena kami tidak
mengetahui kaidah syariat yang mengharuskan kita untuk melarang
transaksi di atas.
Kedua, ada perjanjian yang bersifat mengikat nasabah
untuk membeli barang sebelum bank membeli dan memilikinya. Misalnya
saya ingin membeli suatu rumah tertentu lalu pihak bank mengatakan
“Bisa, namun tanda tangani lembaran-lembaran ini dan atau tanda tangani
kesepakatan ini.” Setelah kesepakatan ditandatangani pihak bank baru
membeli rumah yang dimaksudkan. Atau Anda menuliskan perjanjian yang
mengikat Anda yang isinya jika bank telah membeli rumah yang dimaksudkan
Anda akan membelinya jika tidak jadi beli, maka Anda akan didenda
sekian juta.
Transaksi semacam ini hukumnya haram, tidak boleh karena transaksi
riil yang terjadi adalah bank menjual barang yang belum dia miliki.
Ada juga model lain untuk bentuk transaksi yang kedua ini, bentuknya pihak yang membeli rumah yang dimaksudkan adalah nasabah, bukan pihak bank. Jadi transaksi yang terjadi adalah antara pemilik rumah yang pertama dengan nasabah, bank hanya berlaku sebagai pihak yang membayarkan uang. Jelas ini adalah riba sejati dan tidak diragukan bahwa ini adalah riba sehingga hukumnya tentu saja tidak boleh. Hal ini patut diperhatikan.
Ada juga model lain untuk bentuk transaksi yang kedua ini, bentuknya pihak yang membeli rumah yang dimaksudkan adalah nasabah, bukan pihak bank. Jadi transaksi yang terjadi adalah antara pemilik rumah yang pertama dengan nasabah, bank hanya berlaku sebagai pihak yang membayarkan uang. Jelas ini adalah riba sejati dan tidak diragukan bahwa ini adalah riba sehingga hukumnya tentu saja tidak boleh. Hal ini patut diperhatikan.
Patut diketahui oleh setiap muslim bahwa hukum syariat itu berlaku
untuk semua orang Islam, baik muslim di tempat tersebut minoritas atau
pun mayoritas. Riba itu haram meski dia adalah satu-satunya muslim di
negaranya.
Dekat-dekat dengan bank untuk bisa memiliki rumah dengan cara yang
melanggar syariat hukumnya haram baik di Eropa atau pun selainnya.
0 komentar:
Posting Komentar