Praktek Murabahah – Pembelian Kredit Melalui Bank Syariah
Bermunculannya bank- bank yang berusaha menerapkan praktek syariah
merupakan hal yang patut kita syukuri. Akan tetapi masih saja banyak
praktek-praktek yang mereka lakukan ternyata tidak syar’i. Contohnya
adalah Sistem Murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di
bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum
muslimin yang terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama
berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga jarang di antara mereka
yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi
yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada
system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat
sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya. Semoga bermanfaat.
SISTEM MURABAHAH
SISTEM MURABAHAH
Oleh:
Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Murabahah seolah menggenapi “khazanah” praktik-praktik ribawi di
sekitar kita. Sistem ini awalnya mengadopsi praktik jual beli yang sudah
berlaku umum. Namun dengan memosisikan bank sebagai lembaga pembiayaan,
praktik ini dan yang sejenis –seperti leasing- pun tak lepas dari jerat
riba.
Di antara sistem akad jual beli yang cukup banyak ditemukan pada
bank-bank adalah apa yang mereka sebut dengan istilah murabahah. Sistem
transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yang mengatasnamakan dirinya
“Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang terlena dengan embel-embel
Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga
jarang di antara mereka yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan
seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada
system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat
sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya.
Istilah tersebut di atas sesungguhnya telah ada dan diulas oleh para
ahli fiqih sejak dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai untuk
sebuah hakekat permasalahan yang tidak sama dengan apa yang dahulu
mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi dengan
istilah “jual beli amanah.” Disebut demikian karena seorang penjual
wajib jujur dalam menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang
pembeli.
Transaksi ini ada 3 jenis:
1. Murabahah
Gambarannya adalah ‘Amr –misalkan– membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dengan keuntungan Rp. 100 ribu –misalkan–.
2. Wadhi’ah
Gambarannya adalah seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000,-
kemudian karena terdesak kebutuhan, maka dijualnya dengan harga Rp.
900.000,-
3. Tauliyah
Gambarannya adalah seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000,- lalu dijual dengan harga yang sama.
Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dengan kesepakatan para
ulama, kecuali poin satu (murabahah) di mana sebagian kecil ulama
memakruhkannya. Namun yang rajih adalah boleh dan ini adalah pendapat
mayoritas ulama.
Adapun sistem murabahah yang terjadi di bank-bank “Islami”, gambarannya sebagai berikut:
1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank: “Saya
bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 90
juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan
pemohon, dengan mengatakan: “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan
harga Rp. 100 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan
uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer
A dan beli mobil tersebut.”
Transaksi di atas dilakukan di kantor bank.
2. Sama dengan gambaran pertama, hanya saja pihak bank menelpon
showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari anda.” Selanjutnya
pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada
pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Hukum dua jenis transaksi di atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yang belum dia terima.
3. Sama dengan gambaran sebelumnya, hanya saja pihak bank datang
langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak
showroom: “Berikan mobil ini kepada si fulan (pemohon).” Sementara, akad
jual beli dengan tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon
sudah purna sebelum pihak bank berangkat ke showroom.
Hukum transaksi inipun haram, sebab pihak bank menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
Hakikat akad ini adalah pihak bank menjual nominal harga barang (90
juta) dibayar dengan nominal harga jual (100 juta) dengan formalitas
sebuah mobil, dan ini adalah riba fadhl.
4. Sama dengan yang sebelumnya, hanya saja pihak bank datang ke
showroom membeli mobil tersebut dan berkata: “Biarkan mobil ini di sini
sebagai titipan.” Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan:
“Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom.”
Hukum akad ini juga haram, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang jual beli barang hingga barang tersebut dipindahkan oleh
sang pedagang ke tempat mereka sendiri. Maka transaksi di atas termasuk
menjual sesuatu yang belum diterima.
5. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka
pihak bank mengatakan: “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa
jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin
pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang
selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara
pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan
tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut.
Hukum transaksi ini dirinci:
– bila akadnya dalam bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan) maka haram, karena termasuk menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
– bila akadnya tidak dalam bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh
pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan
ulama masa kini:
a. Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut, sebab
tidak mengandung pelanggaran-pelanggaran syar’i. Ini adalah fatwa
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah
Ad-Da`imah.
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melarang transaksi ini dengan alasan
bahwa akad tersebut adalah tipu daya menuju riba, dan beliau memasukkan
akad ini ke dalam sistem ‘inah bahkan lebih parah lagi.
Hakikatnya adalah pinjam meminjam uang dengan bunga, di
tengah-tengahnya ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yang
ada, pihak bank sendiri tidak akan mau dengan cara ini. Dia pasti
membuat perjanjian-perjanjian, saksi-saksi, dan jaminan-jaminan atas
barang tersebut.
Gambaran kelima di atas hampir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang
ada, kecuali dengan bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan).
Maka transaksi di atas juga tidak diperbolehkan dan kita harus
berhati-hati dari sistem-sistem yang diberlakukan oleh bank manapun.
(Syarhul Buyu’, hal. 90-92)
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar