Kecenderungan harga emas yang naik melaju lebih dari 30% per tahun
mengubah haluan banyak orang berinvestasi dari surat-surat berharga dan
valuta asing –yang terkena imbas krisis global- menuju investasi gadai
emas di bank-bank syariah. Lebih dari itu, gadai emas syariah telah
menjadi alternatif untuk mendapatkan modal dengan cara aman. Ditambah
label ‘syariah’ yang melekat, membuat orang semakin nyaman dengan
‘jaminan kehalalannya’. Pihak bank mengklaim, konsep produknya merujuk
pada DSN MUI. Lagi-lagi, ternyata hanya klaim tanpa bukti.
Antara DSN dan Praktek Gadai Bank Syariah
Produk gadai emas syariah, berpayung di bawah fatwa DSN, NO:
26/DSN-MUI/III/2002 Tentang RAHN EMAS. Dalam fatwa tersebut dinyatakan:
- Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
- Ongkos sebagaimana dimaksud ayat sebelumnya, besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
Tapi tahukah anda, praktek gadai emas syariah berseberangan dengan fatwa di atas.
Untuk mengetahui hal ini perlu dilihat berapa harga penyewaan Safe
Deposit Box (SDB). SDB yang ditawarkan BNI harganya beragam: ukuran
kecil (3x5x24inch) dengan harga Rp 100 ribu per tahun, ukuran sedang
(5x10x24inch) dengan harga Rp 250 ribu per tahun, dan ukuran besar
(15x10x24inch) dengan harga Rp 700 ribu per tahun. Kita semua yakin,
untuk menyimpan emas seberat 2 gram, orang hanya membutuhkan SDB ukuran
paling kecil. Salah satu bank syariah, dalam brosurnya menerapkan tarif,
untuk emas 2 gram dengan kadar 20 karat, biaya titip sebesar 11.800/15
hari. Dengan demikian, untuk penyimpanan selama 6 bulan saja, nasabah
membayar Rp 141.600.
Kenyataan di atas membuktikan bahwa produk gadai emas bank syariah
ini berarti tidak menerapkan fatwa DSN tentang rahn emas sebagaimana
yang dinyatakan di atas. Fenomena ini tentunya akan berakibat buruk
kepada image masyarakat terhadap bank syariah. Oleh karena itu, DSN
perlu mengambil langkah nyata untuk menghentikan produk gadai emas riba
berlabel syariah ini.
Lebih dari itu, gadai emas bank syariah pada hakekatnya adalah
menggabungkan dua akad, yaitu akad qardh (utang) dan ijarah (jual jasa).
Nasabah yang menggadaikan uangnya akan mendapat pinjaman senilai
tertentu sesuai perhitungan bank, dan selanjutnya nasabah wajib membayar
biaya ‘jasa pemeliharaan’ emas sesuai yang ditetapkan bank. Padahal
menggabungkan akad qardh dan ijarah bertentangan dengan hadis Nabi yang
diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib bahwa Nabi Melarang menggabungkan antara akad jual-beli dan akad qardh. HR. Ahmad. Sanad hadis ini dinyatakan hasan oleh Tirmizi.
Keterangan di atas adalah cuplikan artikel tentang gadai emas syariah
yang ditulis oleh Dr. Erwandi Tarmizi di majalah Pengusaha Muslim edisi
24. Penulis merupakan salah satu pembina KPMI, yang telah menyelesaikan
program doktoral Jurusan Fikih, Universitas Muhammad bin Sa’ud.
0 komentar:
Posting Komentar