.:: Selamat datang di D'Ahsana Property Banyuwangi | Ada 2 Daerah |1. Kota Genteng |2. Kota Brawijaya Banyuwangi | Property Syariah : ‪#‎Tanpa‬ Bank #Tanpa Riba #Tanpa Denda #Tanpa Akad Bermasalah. Rumah Nyaman, Aman, Halal, Berkah & Syar'ie. Hub : 085236899024 ::.

Kamis, 02 Juli 2015

Brosur


Brosur Daerah Ganteng

Team Sukses .....!!!

 

                                                                           Type 36



                                                                              Type 45






Type 75





 



Brosur Daerah Banyuwangi










Rabu, 01 Juli 2015

Tentang D’Ahsana



kwitansi-01
Kami adalah developer property syariah yang bergerak di Jawa Timur, Indonesia. Project kami saat ini tengah berkembang di Mojokerto dan Tuban, Malang, Sidoarjo, Gresik, Jember, Banyuwangi dan kota-kota lain di Jawa Timur.
D’Ahsana bernaung di bawah kontrol Developer Property Syariah Indonesia (DPSI) yang berpusat di Makassar, dan komitmen kami adalah menciptakan arus property syariah di Indonesia tanpa keterlibatan Bank, tanpa perhitungan Riba, dan terjaga dari akad bermasalah.
Demi tujuan ini, kami juga terlibat aktif dalam penyelenggaraan pelatihan, workshop, seminar yang bertujuan membentuk para pemain baru dan mengubah pemain lama menjadi pemain property syariah, di Indonesia.

Minggu, 28 Juni 2015

Tanya Pada Kami



question mark
PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN
1. Apa yang dimaksud dengan sistem kredit sesuai syariah ?
Jawab : adalah sistem kredit tanpa perantara bank, baik konvensional maupun syariah. Dimana dalam sistem ini, semua jual beli perumahan baik cash maupun kredit, dilakukan oleh pihak Developer secara langsung dengan perhitungan harga cash maupun kredit, cicilan flat tanpa bunga / riba
2. DP kok mahal sekali, bisa kurang tidak ?
Jawab : DP yang kami minta, sesuai pasaran umum perumahan yaitu 30% dari harga cash, dan bisa dicicil sesuai kesepakatan. Kami tidak meminta harga lebih dari apa yang tercantum dalam brosur kami, seperti biaya provisi, dana mengendap di rekening, biaya kredit perbankan, administrasi dan sebagainya. Ini tentu berbeda dengan perumahan lain yang seolah olah murah, tetapi ternyata banyak biaya tambahan diluar yang tertulis di brosur.
3. Kalo Harga Cash, bisa dicicil berapa lama ?
Jawab : harga cash bisa dicicil hingga 15 bulan, tanpa tambahan harga. Bila diatas itu, ikut harga kredit.
4. Apa syarat bisa membeli secara kredit di perumahan ini ?
Jawab : syaratnya sederhana, anda mampu membayar. Meskipun kami tetap meminta kelengkapan data dan survey, kami bukan lembaga keuangan yang terkoneksi dengan BI Rate dan semacamnya, sehingga lebih mudah.
5. Apa yang dijaminkan, apakah tanpa jaminan ?
Jawab : Tidak ada dan tidak diperlukan sistem penjaminan dalam KPR kami
6. Harga tanahnya kok lebih mahal daripada beli kaplingan ?
Jawab : Tentu saja, karena tanah perumahan sudah termasuk membeli segala fasilitasnya, termasuk taman bermain, musholla, jalan selebar 6 meter, dan fasilitas sosial yang lain.
Investasi Anda sudah termasuk :
a. Harga jual rumah yang terus meroket, karena anda berada pada sebuah kawasan yang sudah tertata dengan perencanaan yang rapi.
b. Anda mendapatkan fasilitas umum yang sesuai.
c. Akad syariah yang menjaga anda dari investasi neraka, menjadi investasi surga (insya Allah)
7. Kalau saya beli tanahnya ,desain saya sendiri ?
Jawab :Boleh asal tipe ruangan dan bangunan sesuai syariah
8. Kapan mulai dibangun rumah saya ?
Jawab :Apabila DP sudah lunas atau sesuai perjanjian
9. Setelah lunas DP ,berapa lama bangun rumahnya ?
Jawab : Tergantung tipe bangunan. Sekitar 3-7 bulan
10. Saya lihat ada gambar hadiah, berupa HP, Mobil, dan sebagainya. Itu diundi ?
Jawab : ada yang diundi, ada hadiah langsung. Untuk jelasnya hubungi customer service kami.
11. Apakah perumahan ini tidak menggunakan asuransi ?
Jawab : tidak, karena tidak ada asuransi (meski syariah sekalipun) yang murni sesuai syariah akad-akadnya.
12. Bila terjadi gagal bayar, bagaimana sistemnya ? Apakah rumah akan disita ?
Jawab : silakan dibaca kembali di “Sistem”

Sistem Penjualan


d'AHSANA RESIDENCE TUBAN
Sistem Transaksi Perumahan Syariah D’ahsana Regency
Sistem Yang tertulis disini adalah sistem default, dimana kadang bisa terjadi kustomisasi atas kepentingan pemasaran, diskon dan periklanan.
a. Ketika Anda memutuskan membeli, maka anda memberikan uang tanda jadi Rp 5,000,000 dan kami membolehkan anda untuk memilih lokasi yang diinginkan. Bila kurang dari 5 juta, maka belum boleh memilih lokasi.
b. Angka 5 juta diatas, sudah mengurangi DP dari rumah yang anda pilih, jadi bila DP rumah adalah 75 juta, maka setelah membayar tanda jadi 5 juta, anda tinggal melanjutkan sisa DP 70 juta.
c. Bila anda memilih untuk membeli secara cash, maka kami perbolehkan untuk dicicil hingga 15 bulan, dengan pembagian cicilan per bulan sesuai kesepakatan bersama.
d. Selanjutnya kami meminta komitmen kapan anda berikan panjar uang muka, sebesar 20 – 30 juta sesuai dengan tipe yang anda pilih. Bila panjar ini sudah masuk, proyek pembangunan bisa kami mulai sesuai progress masuknya uang muka. Sekali lagi, panjar ini juga sudah mengurangi DP yang harus anda bayarkan.
e. Sementara anda kami perbolehkan mencicil DP tersisa dalam waktu yang disepakati bersama, lebih baik anda segera mengumpulkan berkas-berkas syarat pengajuan kredit (bila pembelian kredit) untuk kami survey. Apabila menurut survey kami, anda kami nyatakan tidak mampu membayar hingga 10 tahun, maka kami akan menganjurkan anda untuk menambah uang muka, atau kami meminta anda memberikan jaminan dari orang dekat anda yang akan membantu anda membayar cicilan tiap bulan.
f. Segala bentuk pembayaran kami terima dalam bentuk transfer ke rekening D’Ahsana Regency di Bank Syariah Mandiri cabang Basuki Rahmat Tuban, a.n Irfan Sanyoto Roniyadi dengan Nomor Rekening 7035286114. Pembeli dilarang menitipkan segala bentuk pembayaran DP ke petugas kami.
g. Berkas kelengkapan dokumen yang kami minta adalah : fotocopy ktp suami istri, akta nikah, kartu keluarga. Slip gaji atau ijin usaha (SIUP, TDP, SITU) dan rekening tabungan 3 bulan terakhir. Bila anda tidak bisa melengkapi dokumen diatas, utamanya slip gaji atau ijin usaha, kami tetap bisa meluluskan permintaan kredit anda melalui survey usaha anda yang sesuai fakta terindera.
h. Bila terjadi pembatalan atas pembelian sebelum terjadi akad kredit, maka DP akan kami kembalikan seluruhnya, dengan mekanisme bertahap sesuai kesepakatan.
i. Ketika DP sudah masuk 100%, anda harus sudah memutuskan membeli dengan cara kredit selama berapa tahun, sehingga dengan itu pula jelas harga yang kami berikan. Pembangunan akan mulai berjalan dan cicilan sudah harus dimulai, meski rumah belum selesai dibangun / belum serah terima kunci.
j. Akad jual beli di Notaris yang kami tunjuk bisa dilakukan sebelum serah terima kunci maupun sesudahnya, dimana biaya akta jual beli, balik nama, BPHTB dan harga kelebihan tanah dibayar oleh pembeli.
k. Segala perjanjian akad jual beli, komplain atas bangunan, dsb akan diatur dalam perjanjian tertulis yang akan kami sampaikan kemudian.
l. Bila terjadi keterlambatan cicilan, maka pembeli wajib menggabungkannya di bulan berikutnya, dan developer dilarang memberikan hukuman / pinalti atas keterlambatan tersebut.
m. Bila suatu ketika terjadi gagal bayar, maka atas kesepakatan kedua belah pihak akan dilakukan penjualan asset yang dimiliki untuk digunakan membayar hutang. Apabila terjadi kelebihan hasil dibandingkan hutang, maka kelebihannya dikembalikan ke pembeli. Contoh, bila rumah yang dijual laku seharga 400 juta, sedangkan hutang hanya 150 juta, maka selisihnya yaitu 250 juta akan dikembalikan ke pembeli.
n. Pertanyaan sistem diluar yang kami jelaskan diatas, bisa ditanyakan ke petugas pemasaran.

Bank Syariah Banyak Tidak Sesuai Dengan Fatwa DSN MUI




Fatwa DSN MUI  Vs  Praktek Perbankan Syariah
Tidak semua klaim yang dikemukakan bank syariah telah sesuai dengan bukti praktek di lapangan. Agar dikatakan layak secara syariah, bank syariah menyatakan dirinya telah sesuai dengan fatwa DSN MUI. Namun, lain dikata, lain realita, ternyata banyak praktek bank syariah yang bertentangan dengan fatwa DSN MUI.
Untuk membuktikan hal itu, mari kita adakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan syariah Nasional) MUI dengan praktek yang diterapkan di perbankan syariah. Semoga perbandingan ini menjadi masukan positif bagi semua kalangan yang peduli dengan perkembangan perbankan syariah di negeri kita.
Fatwa Pertama: Tentang Murabahah Kontemporer.
Akad Murabahah  adalah satu satu produk perbankan syariah yang banyak diminati  masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan konvensional yang tentu sarat dengan riba.
Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah. Tapi bagaimana praktek bank syariah terhadap fatwa Murabahah?
DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal.24)
Komentar:
Bank syariah manakah yang benar-benar menerapkan ketentuan ini, sehingga barang yang diperjual-belikan benar-benar telah dibeli oleh bank?
Pada prakteknya, perbankan syariah, hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka).
Adakah bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.
Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil)
Akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi, praktek bank syariah perlu ditinjau ulang.
Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 43)
Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 45)
Komentar:
Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional.
Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajidkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak cerita dari nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini.
Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas
Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi.
Dewan Syariah Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002 membolehkan praktek ini. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan:
Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 154)
Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.”
Komentar:
Perbankan syariah manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa perbankan syariah yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang.
Jika bank syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibabankan nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.
Dus, lagi-lagi praktek perbankan syariah nyata-nyata melanggar fatwa DSN.

Hukum KPR Dalam Bank Syariah

 

 

Permasalahan membeli barang via bank itu memiliki dua bentuk:

Pertama, seorang muslim pergi ke bank lalu berkata kepada pihak bank “Aku ingin membeli suatu rumah tertentu atau mobil tertentu.” Bank lantas mengatakan “Kami tidak memilikinya. Coba cek jika ada yang cocok dengan apa yang Anda inginkan beritahukan kepada kami, kami akan membelinya.” Orang tadi lantas pergi mencari apa yang dia maksudkan, ketika dia menjumpai apa yang dia inginkan hal tersebut dia infokan kepada pihak bank. Pihak bank lantas membelinya.

Setelah bank membeli dan memilikinya, bank baru mengadakan transaksi jual beli dengan nasabah dan tidak ada kesepakatan yang bersifat mengikat nasabah ketika bank belum membeli dan memiliki rumah. Misalnya, nasabah tidak menyerahkan uang muka, ataupun menyerahkan sejumlah uang tertentu yang disebut oleh sebagian orang dengan sebutan ‘biaya administrasi’, tidak pula menyerahkan apapun sebagai kompensasi kesediaan bank untuk membantu nasabah mewujudkan apa yang dia inginkan, serta tidak boleh menandatangani perjanjian tertulis yang isinya kesanggupan membeli barang setelah bank memilikinya. Ini semua tidak boleh dilakukan sampai bank memiliki rumah yang dimaksudkan.
Setelah bank benar-benar memiliki rumah yang dimaksudkan, nasabah memiliki hak untuk memilih. Jika dia jadi membeli, maka dia bisa membelinya. Jika tidak, dia pun bisa membatalkan keinginannya untuk membeli.
Jika pihak nasabah jadi membelinya maka dalam kasus semacam ini mayoritas ulama membolehkannya karena tidak ada alasan untuk melarang.
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim memilih pendapat sebagian pakar fikih masa salaf yang menilai bahwa transaksi semacam ini adalah riba senyatanya, sehingga hukum transaksi ini adalah tidak diperbolehkan.
Kesimpulannya, siapa saja yang menjumpai solusi lain, hendaknya dia menjauhi transaksi semacam ini. Sedangkan siapa yang tidak menjumpai solusi lain maka pendapat yang kami fatwakan –dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki- transaksi semacam itu hukumnya boleh karena kami tidak mengetahui kaidah syariat yang mengharuskan kita untuk melarang transaksi di atas.
Kedua, ada perjanjian yang bersifat mengikat nasabah untuk membeli barang sebelum bank membeli dan memilikinya. Misalnya saya ingin membeli suatu rumah tertentu lalu pihak bank mengatakan “Bisa, namun tanda tangani lembaran-lembaran ini dan atau tanda tangani kesepakatan ini.” Setelah kesepakatan ditandatangani pihak bank baru membeli rumah yang dimaksudkan. Atau Anda menuliskan perjanjian yang mengikat Anda yang isinya jika bank telah membeli rumah yang dimaksudkan Anda akan membelinya jika tidak jadi beli, maka Anda akan didenda sekian juta.
Transaksi semacam ini hukumnya haram, tidak boleh karena transaksi riil yang terjadi adalah bank menjual barang yang belum dia miliki.
Ada juga model lain untuk bentuk transaksi yang kedua ini, bentuknya pihak yang membeli rumah yang dimaksudkan adalah nasabah, bukan pihak bank. Jadi transaksi yang terjadi adalah antara pemilik rumah yang pertama dengan nasabah, bank hanya berlaku sebagai pihak yang membayarkan uang. Jelas ini adalah riba sejati dan tidak diragukan bahwa ini adalah riba sehingga hukumnya tentu saja tidak boleh. Hal ini patut diperhatikan.
Patut diketahui oleh setiap muslim bahwa hukum syariat itu berlaku untuk semua orang Islam, baik muslim di tempat tersebut minoritas atau pun mayoritas. Riba itu haram meski dia adalah satu-satunya muslim di negaranya.
Dekat-dekat dengan bank untuk bisa memiliki rumah dengan cara yang melanggar syariat hukumnya haram baik di Eropa atau pun selainnya.

Hukum Membantu Orang Lain Untuk Mengajukan KPR di Perbankan




Hukum Membantu Orang lain Untuk KPR
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Berikut tanya jawab tentang hukum membantu orang lain untuk KPR di bank.
Pertanyaan,
لي أحد الأصدقاء يدفع إيجار بيت شهريًا 80% من راتبه، وأريد أن أعمل صدقة جارية، وأعطيه مبلغًا ليشتري به منزلًا، والمبلغ الذي أريد مساعدته به يساوي نصف المبلغ المطلوب لشراء بيت، ثم تبين لي إذا أعطيته أنه سيقترض النصف الآخر من بنك تجاري بحجة أنه في ضرورة، مع العلم أنه إذا أراد الإيجار فمن الممكن أساعده في دفع إيجار البيت كاملًا وتتحسن أموره، فماذا أصنع؟
Saya punya teman, dia membayar biaya kontrak rumah setiap bulan sebesar 80% dari gajinya. Dan saya ingin memberikan sedekah jariyah. Saya ingin memberinya uang untuk membeli rumah. Uang yang saya berikan nilainya setengah dari harga rumah yang ingin dia beli.
Kemudian saya baru tahu, jika dia saya beri uang untuk beli rumah, dia akan utang di bank untuk menutupi setengah harga rumah. Dengan dalil, kondisi darurat. Padahal, jika dia tetap ngontrak, saya juga bisa bantu bayar penuh kontrakannya dan dia bs belajar lebih baik. Apa yang harus aku lakukan?
Jawaban Lajnah Fatwa Syabakah Islamiyah:
Alhamdulilillah was shalatu was salam ‘ala Rasulillah, wa ‘ala Alihi wa Sahbih, amma ba’du,
فإذا كانت مساعدتك له في شراء بيت ستدفعه إلى الاقتراض بالربا فلا تعطه المال ليشتري, ويمكنك مساعدته في الإيجار كما ذكرت، وبين له حرمة الربا، وأن عاقبته إلى محق البركة، وأن عاقبة التقوى إلى تيسير الأمور، قال تعالى: يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ {البقرة:276} وقال: وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ {الطلاق:3،2
Jika bantuan dana yang anda berikan untuk membeli rumah, menjadi sebab dia berhutang ke bank, maka anda tidak boleh memberikan uang itu untuk beli rumah. Anda bisa membantunya untuk menyewa seperti yang anda sebutkan, sekaligus menjelaskan kepadanya tentang haramnya riba. Dan dampak buruk riba akan menghanguskan keberkahan. Sementara dengan taqwa akan mendatangkan kemudahan. Allah berfirman,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah akan membinasakan riba dan mengembangkan sedekah (QS. al-Baqarah: 276).
Allah juga berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Siapa yang bertaqwa kepada Allah, Dia akan memberikan jalan keluar ( ) dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak dia duga. (QS. at-Thalaq: 2 – 3)
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن روح القدس نفث في روعي أن نفسًا لن تموت حتى تستكمل أجلها وتستوعب رزقها، فاتقوا الله، وأجملوا في الطلب، ولا يحملن أحدكم استبطاء الرزق أن يطلبه بمعصية الله، فإن الله لا ينال ما عنده إلا بطاعته. صححه الشيخ الألباني في صحيح الجامع الصغير
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
”Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku, bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rizkinya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah dan bersikaplah terbaik dalam mencari rizki. Jangan sampai tertundanya rizqi mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rizki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (Hadis Shahih – Silsilah as-Shahihah, no. 2866)
Allahu a’lam
Sumber: Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 250156

Akad Murabahah di tangan Bank Syariah




Praktek Murabahah – Pembelian Kredit Melalui Bank Syariah
Bermunculannya bank- bank yang berusaha menerapkan praktek syariah merupakan hal yang patut kita syukuri. Akan tetapi masih saja banyak praktek-praktek yang mereka lakukan ternyata tidak syar’i. Contohnya adalah Sistem Murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga jarang di antara mereka yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya. Semoga bermanfaat.

SISTEM MURABAHAH
Oleh:
Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Murabahah seolah menggenapi “khazanah” praktik-praktik ribawi di sekitar kita. Sistem ini awalnya mengadopsi praktik jual beli yang sudah berlaku umum. Namun dengan memosisikan bank sebagai lembaga pembiayaan, praktik ini dan yang sejenis –seperti leasing- pun tak lepas dari jerat riba.
Di antara sistem akad jual beli yang cukup banyak ditemukan pada bank-bank adalah apa yang mereka sebut dengan istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga jarang di antara mereka yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya.
Istilah tersebut di atas sesungguhnya telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai untuk sebuah hakekat permasalahan yang tidak sama dengan apa yang dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi dengan istilah “jual beli amanah.” Disebut demikian karena seorang penjual wajib jujur dalam menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang pembeli.
Transaksi ini ada 3 jenis:
1. Murabahah
Gambarannya adalah ‘Amr –misalkan– membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dengan keuntungan Rp. 100 ribu –misalkan–.
2. Wadhi’ah
Gambarannya adalah seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000,- kemudian karena terdesak kebutuhan, maka dijualnya dengan harga Rp. 900.000,-
3. Tauliyah
Gambarannya adalah seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000,- lalu dijual dengan harga yang sama.
Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama, kecuali poin satu (murabahah) di mana sebagian kecil ulama memakruhkannya. Namun yang rajih adalah boleh dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun sistem murabahah yang terjadi di bank-bank “Islami”, gambarannya sebagai berikut:
1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank: “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 90 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan: “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan harga Rp. 100 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
Transaksi di atas dilakukan di kantor bank.
2. Sama dengan gambaran pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Hukum dua jenis transaksi di atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yang belum dia terima.
3. Sama dengan gambaran sebelumnya, hanya saja pihak bank datang langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak showroom: “Berikan mobil ini kepada si fulan (pemohon).” Sementara, akad jual beli dengan tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna sebelum pihak bank berangkat ke showroom.
Hukum transaksi inipun haram, sebab pihak bank menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
Hakikat akad ini adalah pihak bank menjual nominal harga barang (90 juta) dibayar dengan nominal harga jual (100 juta) dengan formalitas sebuah mobil, dan ini adalah riba fadhl.
4. Sama dengan yang sebelumnya, hanya saja pihak bank datang ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata: “Biarkan mobil ini di sini sebagai titipan.” Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan: “Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom.”
Hukum akad ini juga haram, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli barang hingga barang tersebut dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. Maka transaksi di atas termasuk menjual sesuatu yang belum diterima.
5. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan: “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut.
Hukum transaksi ini dirinci:
– bila akadnya dalam bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan) maka haram, karena termasuk menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
– bila akadnya tidak dalam bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini:
a. Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut, sebab tidak mengandung pelanggaran-pelanggaran syar’i. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah Ad-Da`imah.
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melarang transaksi ini dengan alasan bahwa akad tersebut adalah tipu daya menuju riba, dan beliau memasukkan akad ini ke dalam sistem ‘inah bahkan lebih parah lagi.
Hakikatnya adalah pinjam meminjam uang dengan bunga, di tengah-tengahnya ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yang ada, pihak bank sendiri tidak akan mau dengan cara ini. Dia pasti membuat perjanjian-perjanjian, saksi-saksi, dan jaminan-jaminan atas barang tersebut.
Gambaran kelima di atas hampir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan).
Maka transaksi di atas juga tidak diperbolehkan dan kita harus berhati-hati dari sistem-sistem yang diberlakukan oleh bank manapun.
(Syarhul Buyu’, hal. 90-92)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Seputar Akad Jual Beli Kredit




1. Pengertian Jual Beli Kredit
Jual Beli Kredit / Angsuran / Cicilan / Tidak Tunai adalah: transaksi jual-beli, dimana barang diterima pada waktu transaksi dengan pembayaran tidak tunai  dengan harga yang lebih mahal daripada harga tunai serta Pembeli melunasi kewajibannya dengan cara angsuran tertentu dalam jangka waktu tertentu. (1)
Hakikat membeli barang secara kredit adalah membeli barang dengan cara berutang. Utang tidak dianjurkan dalam syariat islam kecuali seseorang sangat membutuhkan barang tersebut dan ia merasa mampu untuk melunasinya. Maka tidak dianjurkan seorang muslim untuk membeli barang yang merupakan kebutuhan mewah secara kredit.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُخِيفُوا أَنفُسَكُم بَعدَ أَمِنها. قَالُوا: و مَا ذَالِكَ يَا رَسُولَ الله؟ قَل: الدَّينُ
Jangan kalian berikan rasa takut kedalam diri kalian setelah diri itu tenang! Para sahabat bertanya, “apa hal tersebut, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “Utang” (HR Ahmad, derajat Hasan)
2. Hukum Jual-Beli Kredit
2.1. Harga Angsuran Lebih Mahal dari Harga Tunai
2.1.1. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru bin Al‘Ash radhiallahu ‘anhuma.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
(2)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki unta tunggangan, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda (tidak tunai) hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash pun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani) (3),dan “…maka aku beli seekor unta dengan dua/tiga ekor unta yang lebih muda yang dibayar setelah unta zakat datang. Tatkala unta zakat datang maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membayarnya” (HR Ahmad, sanad hadits ini dinyatakan shahih oleh Ar Nauth) (4)
– Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قال ابن عباس رضي الله عنهما: لا بأس أن يقول: السلعة بنقد بكذا وبنسيئة بكذا، ولكن لا يفترقان إلا عن رضا
“seseorang boleh menjual barangnya dengan mengatakan: barang ini harga tunainya sekian dan tidak tunainya sekian, akan tetapi tidak boleh Penjual dan Pembeli berpisah melainkan mereka telah saling ridha atas salah satu harga” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jilid IV, hal 307)
– Fatwa Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullahu berkata:
“jual-beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat aqad, sekalipun jual-beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual-beli tunai…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz , jilid XIX, hal 105)
– Dr. Muhamad Arifin Badri, MA hafizhahullahu menjelaskan:
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang). (5)
– Dr. Erwandi Tarmizi, MA hafizhahullahu menjelaskan:
Dalam hadits diatas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan menukar seekor unta yang diterima tunai dengan dua/tiga ekor unta yang dibayarkan nanti setelah unta zakat datang. Ini jelas menunjukkan bahwa boleh menjual barang dengan cara tidak tunai dengan harga yang lebih mahal dari pada tunai. (6)
2.2. Beberapa dalil-dalil lainnya yang membolehkan aqad jual-beli kedit:
2.2.1. Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan. (5)
2.2.2. Hadits riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
2.2.3. Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan / 100%). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya (  Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
2.2.4. Hadits Bariroh :
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Sesungguhnya Bariroh datang kepadanya minta tolong untuk pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum membayarnya sama sekali, Maka Aisyah berkata padanya : “Pulanglah ke keluargamu, kalau mereka ingin agar saya bayar tebusanmu namun wala’mu menjadi milikku maka akan saya lakukan.” Maka Bariroh menyebutkan hal ini pada mereka, namun mereka enggan melakukannya, malah mereka berkata : “Kalau Aisyah berkehendak untuk membebaskanmu dengan hanya mengharapkan pahala saja, maka bisa saja dia lakukan, namun wala’mu tetap pada kami.” Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersabda : “Belilah dia dan merdekakanlah karena wala’ itu kepunyaan yang memerdekakan.”Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.” (HR. Bukhori 2169, Muslim 1504)
Segi pengambilan dalil : Dalam hadist ini jelas bahwa Bariroh membayarnya dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang dibayar selama sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak satu uqiyah.
3. PERSYARATAN – PERSYARATAN UNTUK KEABSAHAN AQAD JUAL-BELI KREDIT
(AQAD /AKAD JUAL BELI ANGSURAN / CICILAN yang SYAR’I)
Walaupun aqad jual-beli kredit dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan harga tunai pada dasarnya dibolehkan, tetapi ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk Keabsahannya, yang jika tidak terpenuhi , aqad ini bisa menjadi Tidak Sah, bahkan bisa menjadi Riba dan keuntungannya bisa menjadi Harta Haram.
Persyaratan-persyaratan tersebut adalah:
3.1. Aqad ini tidak dimaksudkan untuk melegalkan Riba.
Maka tidak boleh jual-beli ‘inah, Juga tidak boleh dalam aqad jual-beli kredit dipisah antara harga jual tunai dan margin yang diikat dengan waktu dan bunga, karena ini menyerupai riba.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ
“padahal ALLAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al Baqarah: 275)
contoh jual-beli ‘inah:
diriwayatkan bahwa istri Zaid bin Arqam bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum tentang jual beli yang dia lakukan. Dia menjual budaknya kepada Zaid seharga 800 dirham dibayar tidak tunai, lalu Zaid menjual kembali budak itu kepada istrinya seharga 600 dirham tunai. Maka ‘Aisyah berkata , “ini suatu jual beli yang sangat buruk, beritahukan kepada Zaid bahwa jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terhapus pahalanya, kecuali ia bertaubat (dari jual beli ini). (HR Daruquthni, dinyatakan hasan oleh Zaila’i)
3.2. Barang terlebih dahulu dimiliki Penjual sebelum aqad jual beli kredit dilangsungkan.
Dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تبع ما ليس عندك, jangan engkau menjual barang yang belum engkau miliki,  (HR Abu Daud/ Shahih-Al Albani)
3.3. Pihak Penjual Kredit tidak boleh menjual barang yang telah dibeli tapi belum diterima dan belum berada ditangannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فلا تبعه حتى تقبضه, jangan engkau jual hingga barang tersebut engkau terima, (HR Ahmad/ Hasan-Imam Nawawi)
3.4.  Barang yang dijual  kredit bukan berbentuk emas, perak atau mata uang, karena ini termasuk Riba Ba’i 
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587)
3.5. Barang yang dijual secara kredit harus diterima Pembelli tunai pada saat aqad berlangsung.
Maka tidak boleh transaksi jual beli kredit dilakukan hari ini dan barang diterima pada keesokan  harinya. Karena ini termasuk jual beli hutang dengan hutang yang diharamkan.
3.6. Pada saat transaksi dibuat harga harus satu dan jelas serta besarnya angsuran dan jangka waktunya juga harus jelas. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ,anhu
نها رسول الله صلى عليه وسلم عن بيعتين في بيعة, Rasulullah shallallahu  ‘alayhi wasallam  melarang dua harga dalam satu transaksi (HR Nasa’i/ Shahih-Al Albani)
Potongan harga kredit disebabkan pembayaran pelunasan sebelum jatuh tempo hukumnya boleh dengan syarat pemotongan harga tidak dicantumkan pada saat aqad dilakukan. ( Majma’ Al Fiqh Al Islami /  Divisi Fiqih OKI No: 64 taun 1992) – Journal islamic Fiqh Council, edisi IV, jilid 1, hal 193
3.7. Aqad jual beli kredit harus tegas. Maka tidak boleh aqad dibuat dengan dengan cara beli sewa (leasing)
Prinsip leasing yang diharamkan: terdapat dua aqad yang berbeda dalam satu aqad terhadap sebuah barang dalam satu jangka waktu. (HHMK cet 6 hal 413)
Adapun pada akad beli sewa Islami, hanya hukum Ijarah (sewa) yang diterapkan pada barang sewaan selama masa akad sewa. Setelah berakhir masa sewa maka pemindahan kepemilikan barang dilangsungkan berdasarkan akad baru ( jual-beli, janji hibah atau hibah yang yang dikaitkan dengan pelunasan uang sewa terakhir). (AAOIFI, Al Ma’ayir Asy Syar’iyyah, hal 122)
3..8. Tidak boleh membuat persyaratan kewajiban membayar denda, atau harga barang menjadi bertambah, jika pembeli terlambat membayar.
Karena ini adalah bentuk riba yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah dimasa Nabishallallahu  ‘alayhi wasallam.
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR Muslim)
Daftar Pustaka :
1) Kitab Harta Haram Muamalat Kontemporer Penulis: Dr. ErwandiTarmizi, MA
2) Kitab Pengantar Fiqih Muamalat dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern Penulis: Dr. Yusuf Al Subaily,
Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh
————————————————————————————————————–
Wallaahu a’lam
Penyusun : MUHAMMAD DIAN GHAZALI bin KAHARUDDIN

Gadai Emas Dalam Sorotan



Kecenderungan harga emas yang naik melaju lebih dari 30% per tahun mengubah haluan banyak orang berinvestasi dari surat-surat berharga dan valuta asing –yang terkena imbas krisis global- menuju investasi gadai emas di bank-bank syariah. Lebih dari itu, gadai emas syariah telah menjadi alternatif untuk mendapatkan modal dengan cara aman. Ditambah label ‘syariah’ yang melekat, membuat orang semakin nyaman dengan ‘jaminan kehalalannya’. Pihak bank mengklaim, konsep produknya merujuk pada DSN MUI. Lagi-lagi, ternyata hanya klaim tanpa bukti.

Antara DSN dan Praktek Gadai Bank Syariah
Produk gadai emas syariah, berpayung di bawah fatwa DSN, NO: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang RAHN EMAS. Dalam fatwa tersebut dinyatakan:
  1. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
  2. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat sebelumnya, besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
Tapi tahukah anda, praktek gadai emas syariah berseberangan dengan fatwa di atas.
Untuk mengetahui hal ini perlu dilihat berapa harga penyewaan Safe Deposit Box (SDB). SDB yang ditawarkan BNI harganya beragam: ukuran kecil (3x5x24inch) dengan harga Rp 100 ribu per tahun, ukuran sedang (5x10x24inch) dengan harga Rp 250 ribu per tahun, dan ukuran besar (15x10x24inch) dengan harga Rp 700 ribu per tahun. Kita semua yakin, untuk menyimpan emas seberat 2 gram, orang hanya membutuhkan SDB ukuran paling kecil. Salah satu bank syariah, dalam brosurnya menerapkan tarif, untuk emas 2 gram dengan kadar 20 karat, biaya titip sebesar 11.800/15 hari. Dengan demikian, untuk penyimpanan selama 6 bulan saja, nasabah membayar Rp 141.600.
Kenyataan di atas membuktikan bahwa produk gadai emas bank syariah ini berarti tidak menerapkan fatwa DSN tentang rahn emas sebagaimana yang dinyatakan di atas. Fenomena ini tentunya akan berakibat buruk kepada image masyarakat terhadap bank syariah. Oleh karena itu, DSN perlu mengambil langkah nyata untuk menghentikan produk gadai emas riba berlabel syariah ini.
Lebih dari itu, gadai emas bank syariah pada hakekatnya adalah menggabungkan dua akad, yaitu akad qardh (utang) dan ijarah (jual jasa). Nasabah yang menggadaikan uangnya akan mendapat pinjaman senilai tertentu sesuai perhitungan bank, dan selanjutnya nasabah wajib membayar biaya ‘jasa pemeliharaan’ emas sesuai yang ditetapkan bank. Padahal menggabungkan akad qardh dan ijarah bertentangan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib bahwa Nabi Melarang menggabungkan antara akad jual-beli dan akad qardh. HR. Ahmad. Sanad hadis ini dinyatakan hasan oleh Tirmizi.
Keterangan di atas adalah cuplikan artikel tentang gadai emas syariah yang ditulis oleh Dr. Erwandi Tarmizi di majalah Pengusaha Muslim edisi 24. Penulis merupakan salah satu pembina KPMI, yang telah menyelesaikan program doktoral Jurusan Fikih, Universitas Muhammad bin Sa’ud.

Silang Pendapat Bunga Bank, Halal / Haram ?





Pembahasan tentang hukum riba di bank tidak dijumpai dalam buku fikih klasik. Karena ketika buku itu ditulis, sejarah munculnya bank belum terbit. Untuk memahami berbagai masalah seputar bank, kita perlu merujuk kepada penjelasan ulama kontemporer, yang sempat menjumpai praktek perbankkan.

Pertama, Hukum mengambil bunga bank
Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin.  Sebagaimana keterangan beliau di banyak tempat risalah beliau.
Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurka ke kegiatan sosial kemasyarakatan. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin, ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah menjelaskan larang menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan:
….dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, atau semacamnya. Tindakan ini lebih baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah islam.. (Fatawa Islamiyah, 2/884)
Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan: “Bunga yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang didzalimi (baca: nasabah). Demikian juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk diberikan kepada fakir miskin.
Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga pemiliknya maka hukumnya, harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu a’lam.
Kedua, menginfakkan bunga bank untuk masjid
Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank, pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?
Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan. Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin. Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.
Pendapat ini juga difatwakan Penasehat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan) Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.
Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin.  Sebagaimana dikuti dalam Fatawa Islamiyah, 2/885.

Ketiga, Menggunakan riba untuk membayar pajak
Setelah menjelaskan haramnya membungakan uang di bank, Syaikh Muhamad Ali Farkus menyatakan:
Jika uang yang disimpan menghasilkan tambahan bunga (riba) maka pemiliknya wajib bertaubat dari kedzalimannya, karena memakan uang orang lain dengan cara yang tidak benar. Bukti taubatnya adalah dengan membersihkan diri dari harta haram yang bukan miliknya dan tidak pula milik bank. Akan tetapi uang haram ini menjadi harta umum, yang harus dikembalikan untuk kepentingan umum kaum muslimin atau diberikan kepada fakir miskin. Mengingat ada halangan dalam hal ini, berupa tidak diketahuinya orang yang didzalimi dalam transaksi riba ini, karena hartanya diambil untuk bunga. Karena uang riba yang ditambahkan adalah uang umum yang dimiliki seluruh kaum muslimin. Sementara seseorang tidak boleh membayar pajak yang menjadi tanggungannya dengan harta milik orang lain tanpa minta izin….
Demikian pula yang difatwakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah di bawah bimbingan Syaikh Dr. Abdullah al-Faqih. Dalam fatwanya no. 23036 dinyatakan:
Membayar pajak dengan bunga bank, hukumnya tidak boleh, karena pembayaran pajak akan memberikan perlindungan bagi harta pemiliknya, sehingga dia telah memanfaatkan riba yang haram ini.

Perhatian!!
Bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika anda hendak menyalurkan harta riba, pastikan bahwa anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin bisa anda serahkan secara diam-diam, atau anda jelaskan bahwa itu bukan uang anda, atau itu uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik anda.

HUKUM PERKREDITAN




Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.

Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.

Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.

Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.

Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel http://www.pengusahamuslim.com

Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.

#Komentar#